Minggu, 17 April 2011

Ayam Junkfood Disuntik Antibiotik

Banyak orang yang suka dengan menu makanan junkfood, apalagi menu ayamnya. Disamping besar, dan terlihat crispy, harga perporsi menu junkfood sekarang ini tidak begitu mahal. Tapi sepertinya masyarakat harus mulai aware dengan berbagai informasi yang selalu menampilkan efek buruk pengonsumsian junkfood.

Dikutip dari DetikHealth, Prof Iwan Dwi Prahasto berpendapat, "Makanan junkfood seperti ayamnya itu dikasih antibiotik sebagai growth promote-nya," dalam acara jumpa pers seminar 'Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention' di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (7/4/2011). Ia menuturkan sekitar 20-25 persen, antibiotik digunakan untuk binatang seperti ayam yang berfungsi sebagai growth promotenya dan antibiotik ini juga terdapat di dalam telur ayam. Padahal antibiotik adalah salah satu jenis obat yang digunakan untuk memerangi penyakit akibat bakteri.

"Jadi kalau seseorang makan ayam maka ia dengan tidak sadar mengonsumsi antibiotik secara gratis. Padahal penggunaan antibiotik untuk binatang ini tidak relevan," ujar Prof Iwan yang merupakan Guru Besar Farmakologi FK UGM ini.

Selain tentunya berbahaya bagi binatang, antibiotik juga berbahaya bagi orang yang makan daging atau telur hewan ternak yang diberi pakan antibiotik. Kondisi ini bisa memicu terjadinya resistensi terhadap antibiotik, karena semakin sering seseorang terpapar antibiotik maka akan semakin cepat pula terjadinya resistensi

"Kalau tidak diperlukan maka antibiotik ini akan mengganggu bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia dan bisa menyebabkan bakteri baik ini berubah menjadi bakteri yang menyebabkan penyakit, sehingga orang tersebut menjadi gampang sakit," ungkap Prof Iwan lagi.

Setiap kali seseorang mengonsumsi antibiotik, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh dan bakteri yang kebal akan terus hidup, tumbuh dan berkembang biak. Penggunaan antibiotik yang berulang-ulang dan tidak tepat adalah penyebab utama peningkatan jumlah bakteri yang kebal terhadap antibiotik.

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat juga bisa menyebabkan terjadinya kekebalan pada kuman sehingga nantinya membutuhkan antibiotik satu tingkat diatasnya yang tentu saja memiliki efek toksisitas yang lebih tinggi.

Di Eropa antibiotik telah dilarang digunakan untuk tambahan pakan ternak selama bertahun-tahun dan larangan serupa akan dilaksanakan di Korea Selatan tahun depan.

Kalau sudah sadar akan keburukan-keburukannya, apa yang sebaiknya dilakukan? Mengurangi? Absen total konsumsi junkfood? Semuanya tentunya terpulang masing-masing pribadi. Tapi kalau memang sudah sadar, pasti melakukan sesuatu yang lebih baik bagi dirinya. Bagi kami, Go Vegan!

sumber : detikhealth dan betterdayzine

Senin, 11 April 2011

Makanan Sehat Makin Dekat


Gaya hidup sehat yang menggejala di kota dalam waktu cepat ditangkap para penyedia jasa konsumsi. Bermunculanlah restoran, pasar swalayan, toko roti, kue, hingga katering yang semuanya menawarkan menu sehat.

Jelang jam makan siang, seorang staf di Restoran Healthy Choice Kebon Jeruk, Jakarta Barat, menerima telepon dari konsumen. Dengan rinci, dia menjawab pertanyaan tentang bahan-bahan sebuah menu masakan. Tak lama setelah itu, pesanan makan siang itu pun diraciknya, dan kemudian diantarkan ke kediaman si penelepon.
”Terkadang memang ada konsumen yang mengajukan permintaan supaya masakannya tidak memakai bahan tertentu. Kami bisa melayani permintaan itu,” kata Nurhasanah dari bagian pemasaran.

Bermula sebagai sebuah bisnis wellness, seperti akupunktur, facial, dan detoks pada tahun 2004, Healthy Choice mengembangkan bisnis seiring dengan tujuan memperkenalkan produk organik. Restoran, pasar swalayan, serta toko roti dan kue pun lantas hadir dengan berbagai menu dan bahan pangan organik, yaitu bahan yang dihasilkan tanpa zat kimia.

”Kami mendatangkan bahan dari penyuplai yang sudah bersertifikat organik. Tetapi, untuk memastikan barang yang dijual benar-benar organik, tak jarang kami meninjau produknya langsung ke petani,” katanya.

Selain berbahan pangan organik, restoran ini juga mengganti beberapa bahan masakan guna mengusung kuliner sehat. Laksa yang biasanya berkuah santan kental, misalnya, di restoran dengan target pasar menengah ke atas ini diganti dengan susu kedelai tanpa mengubah rasa aslinya.

Hal tersebut sejalan dengan imbauan guru besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof Murdijati Gardjito, yang dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu, menekankan perlunya menanamkan kesadaran soal makanan agar masyarakat tidak mudah termakan iklan makanan instan dan cepat saji.

Murdijati menganjurkan agar penyadaran soal makanan ditanamkan lagi lewat keluarga. ”Keluarga sebaiknya menghidupkan lagi makanan tradisional sebab memasak dan mengonsumsi makanan di rumah akan membangun kebahagiaan dan kebajikan yang semakin hilang,” katanya.

Seruan seperti itu selaras dengan gerakan slow food yang belakangan muncul, yang merupakan antitesis fast food. Inti dari gerakan ini antara lain, makanan yang masuk ke dalam tubuh harus diketahui asal-usulnya, makanan harus dimasak dengan cara-cara yang diketahui dan bahan-bahannya diyakini tidak mengandung zat berbahaya, serta memberikan penghargaan kepada orang yang memasak hidangan.


Kebun sendiri

Rumah Makan Sedap Alami, yang didirikan suami-istri Hendra Alimin dan Yosefina Skolastika pada tahun 2006, setia mengusung produk organik, terutama sayur dan buah. Harga makanan yang dijual Sedap Alami lebih terjangkau karena semua sayuran berasal dari kebun sendiri di Cisarua, Jawa Barat.

Beragam tumis sayuran di Sedap Alami Bendungan Hilir, misalnya, berharga Rp 3.000-Rp 8.000 per porsi. Sementara jajanan tradisional yang bahannya juga berasal dari kebun, seperti bakpao labu parang, nagasari, dan getuk lindri, dihargai Rp 2.000-Rp 6.000 per buah.

Semakin ramainya minat konsumen terhadap sayur dan buah organik berimbas pada munculnya permintaan agar Hendra menjual langsung hasil kebun mereka. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Sedap Alami mulai menjual hasil kebun pada tahun 2007.

Bertempat di halaman rumah makan yang berlokasi di Taman Permata Buana, Jakarta Barat, ”pasar” sayur dan buah organik digelar setiap hari Senin dan Kamis sore. Pembeli dibebaskan untuk mengambil sendiri yang akan mereka beli.

Jenis sayur dan buah yang dijual sangat beragam. Dalam daftar harga, sayur dan buah yang dijual bahkan mencapai 100 jenis.


Vegetarian

Bagi mereka yang memilih jalur Vegetarian untuk hidup sehat, restoran-restoran yang menyediakan menu tanpa daging ini cukup mudah dicari. Salah satunya adalah House of Peace (HoPe) di Kebayoran Baru, Jakarta, yang berdiri sejak tahun 2003.

Umumnya masakan di HoPe merupakan olahan masakan Vegan murni, tidak mengandung susu dan telur. Bawang merah dan bawang putih juga diganti ramuan bumbu alami lain karena dirasa menimbulkan efek kurang baik bagi sebagian orang (tidak semua Vegan, red BD).

Pemilik HoPe, Billyani Tania, seperti dituturkan Razif Rifai sebagai pengelola restoran, adalah seorang vegetarian. Tekad Billyani membuat restoran Vegetarian lebih didorong keinginan untuk memasyarakatkan pola makan yang ia yakini lebih sehat.

Promosi dilakukan melalui televisi hingga membagikan brosur dari pintu ke pintu. Karena menu Vegetarian tak begitu populer bagi warga Jakarta di wilayah selatan, HoPe sempat rugi Rp 40 juta sebulan pada awal berdiri.

”Setiap saya memberikan kartu nama HoPe kepada orang lain, mereka membayangkan makanan yang akan disajikan adalah tumpukan sayuran,” kata Razif.

Padahal, menu Vegetarian juga memiliki beberapa variasi yang dibuat menyerupai daging, seperti ikan, ayam, udang, atau daging sapi. Razif mengatakan, bahan-bahan menyerupai daging ini, antara lain, tepung kedelai, jamur, dan umbi-umbian. Penampilan, rasa, dan tekstur seratnya cukup mirip dengan daging. (Mawar Kusuma, Kompas Cetak)

sumber : Kompas dan betterdayzine

Rabu, 06 April 2011

Lecehkan Hewan, Bayar $42.000


Pemerintah Yunani menetapkan sanksi baru terkait perlakuan kejam dan pelecehan pada hewan. Berdasarkan ketetapan yang akan dipertimbangkan hingga 15 April 2011 mendatang, sesorang yang bertindak keji dan melecehkan hewan bisa dikenakan denda hingga setara 42.000 dollar AS.

Pejabat Deputi Kementrian Pertanian Yunani Milena Apostolaki mengatakan, "Perilaku suatu masyarakat pada hewan adalah masalah budaya. Setiap negara modern berkewajiban untuk memberikan kerangka legal untuk mengupayakan kebijakan hewan yang efisien."

Di Yunani, perlakuan keji pada hewan memang sering terjadi. Anjing kadang diracuni, digantung, atau dimutilasi di beberapa desa Yunani. Pada tahun 2009, seorang petugas sirkus Circo Massimo memukul dan mencambuk gajah sebelum pertunjukan dimulai.

Dengan adanya ketetapan ini, maka secara formal pertunjukan sirkus di Yunani juga dilarang. Sebelumnya, hingga beberapa dekade lalu beruang yang menari menjadi atraksi sirkus rutin yang menghibur masyarakat Yunani. Akhirnya, atraksi itu pun dilarang.
Sumber : kompas & betterdayzine

Jangan Sikat Gigi Setelah Ngopi

Meski kita tahu bahwa sisa makanan yang menempel di gigi bisa memicu bakteri namun bukan berarti setiap habis makan kita harus segera menyikat gigi. Kapan perlu menyikat gigi hal itu sangat tergantung pada apa yang baru kita makan atau minum.


Setelah mengonsumsi makanan atau minuman yang tinggi kandungan asamnya, seperti kopi, buah yang rasanya asam, atau softdrink sebaiknya Anda berkumur dulu untuk menetralisir kadar asam. Tunggulah sampai satu jam sebelum menyikat gigi.

"Jika langsung menyikat gigi setelah minum minuman berkarbonasi atau makanan yang asam, gigi bisa erosi," kata Meinecke, juru bicara Academy of General Dentistry.

Sementara itu menyikat gigi dianjurkan 20 menit setelah makan karena pada saat ini tingkat keasaman ludah sudah kembali normal. Ketika makan, pH akan turun dari yang normalnya 6,8 menjadi 4. Namun, secara perlahan-lahan, pH-nya akan naik kembali dalam waktu sekitar 20 menit. Jika terburu-buru menyikat gigi struktur saliva akan rusak, padahal salah satu fungsi air ludah adalah penyeimbang dan membantu proses pencernaan.

sumber : betterdayzine

Sabtu, 02 April 2011

Kebiasaan vs Kesadaran

Kebiasaan? Apakah itu? Secara harafiah dan sederhana, kebiasaan berarti sebuah tingkah-laku yang dilaksanakan secara terus menerus dan berulang-kali. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan di dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Mulai dari kebiasaan makan pagi, ngemil, mengunyah berbunyi, bersepeda ke sekolah, kebiasaan makan daging dan merokok, dan masih banyak lagi.

Dari banyak kebiasaan tersebut, diantaranya membawa dampak buruk secara langsung bagi diri si pelaku. Contoh paling nyata kebiasaan yang ‘biasa’ kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan makan daging dan merokok.

Menu daging sudah ditanamkan oleh orang tua sejak dari kecil, bahkan sejak masih usia bayi. Ketika masuk usia remaja dan dewasa pun kebiasan ini sering tidak berubah. Bahkan dalam beberapa kasus semakin gila saja hobinya memakan daging. Demikian pula pada kasus kebiasaan merokok. Bisa dibilang tiap hari kita akan menjumpai orang merokok di depan kita. Baik yang merokok karena sedang sendirian, bertemu teman-teman, atau kebiasaan merokok setelah selesai makan.

Salahkah? Tentu tidak. Itu adalah hak tiap-tiap orang untuk melakukan apapun selama tidak mengganggu hak orang lain. Namun apakah kebiasaan tersebut sudah disaring dengan sebuah kesadaran diri?

Mitos daging adalah makanan yang bergizi sepertinya semakin bergeser seiring dengan perjalanan waktu dan semakin maju serta terbukanya pemikiran masyarakat dunia. Dulu, daging mempunyai posisi yang cukup aman di masyarakat. Namun sekarang mulai tergantikan dengan pola hidup sehat modern yang berbasis pada sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, dan bahkan seringkali mengacu pada prinsip hidup Vegetarian atau Vegan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kampanye-kampanye di dunia seputar gaya hidup sehat yang tidak melibatkan daging di dalamnya. Bahkan bisa kita lihat di banyak media bahwa semakin banyaknya para penganut prinsip dan pola hidup Vegetarian atau Vegan oleh banyak kalangan, mulai dari selebritis, atlet, orang-orang akademik (hingga tingkat profesor), bahkan sudah banyak dokter-dokter yang mulai bervegetarian. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, bahkan banyak dokter yang menjadi Vegan!

Namun, banyaknya kampanye seputar bahaya daging yang membawa dampak penyakit kronis ternyata tidak cukup merubah realita di masyarakat dalam mengonsumsi daging. Banyak masyarakat yang sepertinya ogah-ogahan untuk meninggalkan daging. Jangankan meninggalkan, mengurangi saja ogah-ogahan. Hal ini sebenarnya adalah sebuah bentuk kebiasaan yang sudah tertanam sejak kecil, bahkan sejak bayi.

Banyak faktor yang mempengaruhi mereka tidak mau meninggalkan pola makan daging, terutama faktor sosial dan edukasi. Masih ada anggapan di masyarakat bahwa makan daging merupakan makanan yang mewah dan merujuk pada tingkatan sosial tertentu. Faktor edukasi (terutama di negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga) yang belum merata tentunya sangat berpengaruh dalam menyaring dan mengolah informasi yang masuk, terutama seputar pola makan daging. Banyak di antara mereka yang belum mengerti benar mengenai dampak buruk kebiasaan makan daging bagi tubuh manusia. Namun anehnya, di sisi lain, banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi dan mengetahui bahaya daging, namun tetap mengonsumsinya, bahkan secara brutal (baca: menjadi pola makan wajib dalam tiap menunya, red).

Belum lagi kasus kebiasaan merokok. Rokok jelas-jelas TIDAK membawa dampak baik apapun bagi si penghisap, namun tingkat konsumsi rokok di dunia tetap saja tinggi. Padahal sebenarnya tiap hisap rokok adalah sebuah setoran untuk tabungan percepatan kematian penghisapnya.

Kebiasaan apapun memang hak tiap orang, namun untuk kasus merokok tentunya kebiasannya tersebut menghasilkan asap yang merupakan racun bagi orang lain. Dan ini sudah dalam tingkat mengganggu hak orang lain. Sehingga ketidaksadaran ini harus diatur dengan peraturan yang jelas dan dilaksanakan secara tegas oleh para aparat di lapangan.

Menurut Witherington (1982), kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai yang bersifat tahan uji, seragam dan banyak sedikitnya otomatis. Kebiasaan biasanya terjadi tanpa disertai kesadaran pada pihak yang memiliki kebiasaan itu. Pengertian tersebut cukup menjelaskan bagaimana sebuah kebiasaan sedikit banyak didasari oleh sebuah sifat otomatis, yang juga berarti minim kesadaran.

Ternyata, kesadaran, memang sebuah hal yang susah sekali ditanamkan dalam diri. Untuk mengerti adalah hal yang cukup mudah dilakukan. Namun untuk sadar, butuh banyak faktor untuk mendorongnya. Selain mencari banyak referensi dari media (faktor eksternal) untuk meningkatkan kesadaran seseorang, tentunya faktor NIAT dari dalam diri (faktor internal) merupakan pijakan awal yang terpenting. Di atas itu semua, tentunya tidak ada orang yang ingin sakit gara-gara kebiasannya itu. (El Vegano)

sumber : betterdayzine.blogspot.com