Sabtu, 02 April 2011

Kebiasaan vs Kesadaran

Kebiasaan? Apakah itu? Secara harafiah dan sederhana, kebiasaan berarti sebuah tingkah-laku yang dilaksanakan secara terus menerus dan berulang-kali. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan di dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Mulai dari kebiasaan makan pagi, ngemil, mengunyah berbunyi, bersepeda ke sekolah, kebiasaan makan daging dan merokok, dan masih banyak lagi.

Dari banyak kebiasaan tersebut, diantaranya membawa dampak buruk secara langsung bagi diri si pelaku. Contoh paling nyata kebiasaan yang ‘biasa’ kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan makan daging dan merokok.

Menu daging sudah ditanamkan oleh orang tua sejak dari kecil, bahkan sejak masih usia bayi. Ketika masuk usia remaja dan dewasa pun kebiasan ini sering tidak berubah. Bahkan dalam beberapa kasus semakin gila saja hobinya memakan daging. Demikian pula pada kasus kebiasaan merokok. Bisa dibilang tiap hari kita akan menjumpai orang merokok di depan kita. Baik yang merokok karena sedang sendirian, bertemu teman-teman, atau kebiasaan merokok setelah selesai makan.

Salahkah? Tentu tidak. Itu adalah hak tiap-tiap orang untuk melakukan apapun selama tidak mengganggu hak orang lain. Namun apakah kebiasaan tersebut sudah disaring dengan sebuah kesadaran diri?

Mitos daging adalah makanan yang bergizi sepertinya semakin bergeser seiring dengan perjalanan waktu dan semakin maju serta terbukanya pemikiran masyarakat dunia. Dulu, daging mempunyai posisi yang cukup aman di masyarakat. Namun sekarang mulai tergantikan dengan pola hidup sehat modern yang berbasis pada sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, dan bahkan seringkali mengacu pada prinsip hidup Vegetarian atau Vegan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kampanye-kampanye di dunia seputar gaya hidup sehat yang tidak melibatkan daging di dalamnya. Bahkan bisa kita lihat di banyak media bahwa semakin banyaknya para penganut prinsip dan pola hidup Vegetarian atau Vegan oleh banyak kalangan, mulai dari selebritis, atlet, orang-orang akademik (hingga tingkat profesor), bahkan sudah banyak dokter-dokter yang mulai bervegetarian. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, bahkan banyak dokter yang menjadi Vegan!

Namun, banyaknya kampanye seputar bahaya daging yang membawa dampak penyakit kronis ternyata tidak cukup merubah realita di masyarakat dalam mengonsumsi daging. Banyak masyarakat yang sepertinya ogah-ogahan untuk meninggalkan daging. Jangankan meninggalkan, mengurangi saja ogah-ogahan. Hal ini sebenarnya adalah sebuah bentuk kebiasaan yang sudah tertanam sejak kecil, bahkan sejak bayi.

Banyak faktor yang mempengaruhi mereka tidak mau meninggalkan pola makan daging, terutama faktor sosial dan edukasi. Masih ada anggapan di masyarakat bahwa makan daging merupakan makanan yang mewah dan merujuk pada tingkatan sosial tertentu. Faktor edukasi (terutama di negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga) yang belum merata tentunya sangat berpengaruh dalam menyaring dan mengolah informasi yang masuk, terutama seputar pola makan daging. Banyak di antara mereka yang belum mengerti benar mengenai dampak buruk kebiasaan makan daging bagi tubuh manusia. Namun anehnya, di sisi lain, banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi dan mengetahui bahaya daging, namun tetap mengonsumsinya, bahkan secara brutal (baca: menjadi pola makan wajib dalam tiap menunya, red).

Belum lagi kasus kebiasaan merokok. Rokok jelas-jelas TIDAK membawa dampak baik apapun bagi si penghisap, namun tingkat konsumsi rokok di dunia tetap saja tinggi. Padahal sebenarnya tiap hisap rokok adalah sebuah setoran untuk tabungan percepatan kematian penghisapnya.

Kebiasaan apapun memang hak tiap orang, namun untuk kasus merokok tentunya kebiasannya tersebut menghasilkan asap yang merupakan racun bagi orang lain. Dan ini sudah dalam tingkat mengganggu hak orang lain. Sehingga ketidaksadaran ini harus diatur dengan peraturan yang jelas dan dilaksanakan secara tegas oleh para aparat di lapangan.

Menurut Witherington (1982), kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai yang bersifat tahan uji, seragam dan banyak sedikitnya otomatis. Kebiasaan biasanya terjadi tanpa disertai kesadaran pada pihak yang memiliki kebiasaan itu. Pengertian tersebut cukup menjelaskan bagaimana sebuah kebiasaan sedikit banyak didasari oleh sebuah sifat otomatis, yang juga berarti minim kesadaran.

Ternyata, kesadaran, memang sebuah hal yang susah sekali ditanamkan dalam diri. Untuk mengerti adalah hal yang cukup mudah dilakukan. Namun untuk sadar, butuh banyak faktor untuk mendorongnya. Selain mencari banyak referensi dari media (faktor eksternal) untuk meningkatkan kesadaran seseorang, tentunya faktor NIAT dari dalam diri (faktor internal) merupakan pijakan awal yang terpenting. Di atas itu semua, tentunya tidak ada orang yang ingin sakit gara-gara kebiasannya itu. (El Vegano)

sumber : betterdayzine.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar